Mengenal Kain Songke, Warisan Budaya Pulau Flores yang Sarat Filosofi

Indonesia memiliki kearifan lokal yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kearifan lokal tersebut diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk budaya benda dan budaya tak benda. Salah satu wujud dari kearifan lokal tersebut adalah kain tenun.

Berbagai wilayah di Indonesia memiliki kain tenun khasnya masing-masing, salah satunya adalah kain songke dari Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Sejarah Kain Songke

Dikutip dari Gemapos.id, Kain songke memiliki sejarah panjang yang bermula dari tahun 1613–1640, saat Kerajaan Gowa Makassar menguasai hampir seluruh wilayah Manggarai Raya. Akulturasi budaya antara suku Makassar dan Manggarai melahirkan berbagai tradisi baru, termasuk dalam seni berbusana.

Kata “songke” sendiri merupakan adaptasi dari kata “songket” yang digunakan oleh orang Makassar. Namun, masyarakat Manggarai lebih sering menyebutnya tanpa huruf “t”, menjadi “songke”.

Mengenal Kain Tenun Songke

Kain songke merupakan kain tenun tradisional khas Kabupaten Manggarai Barat, Kecamatan Reok, di sisi barat Pulau Flores. Masyarakat lokal mengenalnya sebagai towe songke atau nae songke, dan sering disebut sebagai lipa.

Jika dipakai oleh laki-laki disebut tengge towe songke, sementara jika dipakai oleh perempuan disebut deng towe songke.

Penggunaan dan Fungsi Kain Tenun Songke

Secara adat, kain songke wajib digunakan dalam berbagai acara penting, seperti:

  • Kenduri (Penti): Upacara syukur tahunan.
  • Membuka ladang baru (Randang): Ritual sebelum bercocok tanam.
  • Musyawarah adat (Nempung): Pertemuan penting dalam masyarakat.
  • Tarian Caci: Pertarungan tradisional Manggarai.
  • Mas Kawin (Belis): Simbol mahar dalam pernikahan.
  • Pembungkus Jenazah: Sebagai penghormatan terakhir.
  • Pakaian ibadah: Digunakan saat menghadiri gereja dengan paduan atasan putih dan bawahan tengge songke bagi laki-laki, serta kebaya atau brokat bagi perempuan.
  • Busana tarian daerah: Digunakan dalam tarian seperti Caci, Congka Sae, Rungkuk Alu, dan Sanda.
  • Pariwisata dan ekonomi: Dimanfaatkan sebagai suvenir atau oleh-oleh bagi wisatawan.

Selain itu, kain songke juga dipercaya memiliki kekuatan spiritual, digunakan sebagai perantara untuk mengusir roh jahat dalam proses penyembuhan orang sakit.

Kain ini juga memiliki nilai sosial tinggi, digunakan dalam kegiatan sehari-hari seperti lejang (berkumpul) dan laat (menjenguk atau berkunjung), karena dianggap mencerminkan kesopanan (di’ab’aweki).

Makna Warna dan Motif Kain Songke

Kain songke umumnya memiliki warna dasar hitam, yang melambangkan kebesaran, keagungan, dan kepasrahan kepada Sang Pencipta (Mori Kraeng). Warna benang sulaman seperti merah, putih, oranye, dan kuning memiliki arti tersendiri.

Tidak sembarang motif digunakan dalam kain songke, sebab setiap motif memiliki simbol dan filosofi mendalam. Beberapa motif yang terkenal antara lain:

  1. Motif Mata Manuk: Artinya mata ayam, melambangkan keberanian, persaudaraan, serta penghormatan kepada leluhur. Motif ini pertama kali dibuat oleh Maria Elisabeth C. Pranda, Ketua Dekranasda Kabupaten Manggarai Barat (2005–2010).
  2. Motif Su’i (Garis Kehidupan): Melambangkan perjalanan hidup manusia dari lahir hingga kembali ke Sang Pencipta.
  3. Motif Wela Ngkaweng (Bunga Penyembuhan): Melambangkan harapan untuk kesehatan dan kesembuhan.
  4. Motif Wela Runu (Bunga Kecil): Simbol kesederhanaan dan keindahan dalam kehidupan.
  5. Motif Ranggong (Laba-Laba): Melambangkan kerja keras, ketekunan, dan kejujuran.
  6. Motif Ntala (Bintang): Melambangkan harapan dan impian yang setinggi bintang di langit.

Tradisi menenun kain songke telah tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Manggarai sejak dahulu. Awalnya, kain tenun dibuat untuk mengisi waktu luang setelah bercocok tanam dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Kini, kain tenun telah berkembang menjadi warisan budaya yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Penggabungan antara adat, kreativitas, dan kearifan lokal dalam proses pembuatan kain tenun menjadi landasan dalam mempertahankan kain songke sebagai simbol kehidupan masyarakat Manggarai.

Bahkan, motif songke Mata Manuk telah resmi terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM sejak September 2020 sebagai bentuk pengakuan akan nilai budayanya.

Kain songke bukan sekadar kain tenun biasa, tetapi juga simbol tradisi, identitas, dan warisan budaya yang harus terus dilestarikan. Dengan setiap helai tenunan, tersimpan nilai-nilai sejarah, adat, dan filosofi yang mendalam.

Memakai kain songke adalah bentuk penghormatan kepada leluhur dan tradisi yang terus hidup dalam masyarakat Manggarai.(ra)

Sumber: Gemapos.id

Bermanfaat, share yuk:

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *